Melintasi jalan-jalan di Jakarta selalu diperlihatkan dengan pekerjaan galian disisi jalan, entah untuk kabel telepon, listrik, fibre optic atau sekedar untuk membersihkan gorong-gorong dari sampah. Yang membuat kesal adalah karena pekerjaannya sangat lama, tidak terkoordinasi sehingga mengganggu kenyamanan, keamanan dan keindahan. kelancaran lalu lintas pun pasti ikut terganggu, kendaraan akan menengah atau berjalan agak ketengah untuk menghindari lubang ataupun tanah galian yang menumpuk yang sudah pasti akan membuat semakin macet. Pekerjaan penggalian dan penutupan lubang membutuhkan waktu tidak sebentar, lubang terbuka dengan cukup lama kadang-kadang hanya diberi tanda dengan kayu yang disilang menyerupai pagar seadanya. Dan ini sangat membahayakan terutama untuk pejalan kaki. Sudah diberitakan juga di koran, akibat tutup lubang yang dipasang tidak sempurna mengakibatkan orang terperosok masuk lubang dan yang menyedihkan adalah nyawa melayang karena terbawa arus yang deras ketika hujan akibat lubang tertutup dengan air. Penutupan lubang yang ada dipinggir jalan juga dengan asal-asalan membuat jalan menjadi bopeng-bopeng menambah ketidaknyamanan bagi pejalan kaki dan pengendara. Selain itu tanah galian yang berserakan karena tidak segera diangkut membuat becek dan licin ketika hujan turun. Sepertinya kita yang harus waspada dan "dipaksa" mengerti akan pekerjaan mereka dengan adanya tulisan dipapan "Awas Ada Galian"
Saya jadi ingat kira-kira tahun 1975 di Kertosono Jawa Timur tempat nenek saya tinggal, peristiwa yang sebenarnya sudah saya lupakan tetapi setiap bertemu dengan galian rasa trauma itu muncul kembali. Malam itu sekitar jam 19.00 saya bersama almarhumah ibu dan nenek berjalan kaki menuju pasar malam untuk membeli makanan. Saya digandeng nenek dan ibu berjalan dibelakang saya. Kami berjalan di trotoar disepanjang toko-toko. Rupanya tanpa diduga saya dan nenek menginjak tutup gorong-gorong yang tidak rapat/ tidak sempurna dan tiba-tiba kejebloslah kami berdua. Saya menjerit-jerit sambil memegang nenek kuat-kuat dan nenekpun berteriak-teriak minta tolong. Saya merasakan putaran air sangat deras dan kuat menarik kami berdua kebawah dan saya juga merasakan sanggul nenek lepas dan rambutnya yang panjang berantakan mengenai saya. Akhirnya kami dapat ditarik keatas oleh orang-orang yang menolong. Ibu langsung memeluk saya erat-erat sambil menangis dan kami bertiga berpelukan sambil terus menangis.
Itulah trauma panjang saya dan ibu bila melihat gorong-gorong, walaupun sudah tertutup ibu tetap akan bilang "jangan diinjak! jangan diinjak! Siapa tahu tutupnya tidak benar" Karena pikir ibu saat itu ia akan kehilangan orang-orang tersayangnya.
Waktu telah lama sekali berjalan kurang lebih 36 tahun, ilmu pengetahuan dan teknologi tentunya sudah semakin maju, tetapi pekerjaan galian di Jakarta ibu kota negara masih seperti di kota kecil Kertosono tahun 1975!! Saya pun hanya bisa menggerutu....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar