Selasa, 15 Maret 2011

MAMA, I Heart You




Baru saja saya selesai membaca sebuah artikel di Media Kawasan PI dengan judul diatas, Mama, I heart you. Seketika rasa sedih membuat air mata mulai menggenang mengingat Ibu. Dan saya ingin mengenang Ibu dengan menuliskan isi hati saya. 

Tidak terasa  tatapan dan senyum khasnya sudah tidak lagi saya temukan dibalik pintu rumah ketika saya membukakan untuknya. Tidak ada langkah perlahannya langsung menuju ruang makan tempat biasa Ibu menaruh oleh-oleh untuk anak, menantu dan cucu kesayangannya. Dan melanjutkan cerita serunya ke pasar, tetap di meja makan kecil saya. Begitulah Ibu "musuh" sekaligus teman saya, nenek  dan mertua tersayang.

Memang Ibu bukanlah manusia sempurna sehingga bisa juga berbuat kesalahan, tetapi hanya dengan kesantunanlah semua gesekan dengan Ibu dapat diatasi. Dan ini  baru saya rasakan diwaktu yang belum lama, setelah saya menikah beberapa tahun. Ketika masa sekolah, kuliah dan di awal pernikahan justru kehidupan komunikasi kami seperti Tom and Jerry. Saya merasa Ibu adalah tiger mom, ibu tiri, yang sangat keras, tidak terbantah dan tidak pernah mengerti saya. Perhatiannya yang melebihi batas, membuat saya seperti selalu diawasi dan diinterogasi. Dan sebaliknya, Ibu merasa saya tidak menurut dan terlalu membangkang disetiap ucapan dia. Sehingga saya kadang berani melawan dia, dengan ucapan pembelaan diri, dan ini yang kadang malah menambah marah ibu. Saat itu mengunci diri dan berlama-lama di kamar   adalah pilihan saya. Mau keluar rumah alias kabur tidak berani saya lakukan.
Saya takut terhadap ibu, takut membuatnya marah.

Tetapi setelah menikah, hubungan kami berbalik menjadi begitu dekat. Dan Tuhan semakin mengeratkan hubungan kita berdua, saya tinggal dekat dengan Ibu. Gesekan, pertengkaran dan adu pendapat masih berlangsung tetapi lebih memakai hati. Saya lebih mengalah untuk tidak berucap satu katapun dan memilih untuk pamit pulang untuk menghindari kemarahan yang makin membara. Saya tetap mempunyai rasa takut terhadap ibu, bila dulu saya takut ibu marah, sekarang takut membuatnya sakit dan menangis. Saya tidak ingin menjadi anak durhaka dimata Allah.

Selang dua hari setelah kami berdiam diri, saya  tidak peduli lagi akan diacuhkan Ibu atau tidak, saya akan meneleponnya, mengajaknya bicara bahkan mengajaknya pergi makan atau belanja. Ibu  sangat mengerti kesibukan anak-anaknya, sehingga dia tidak pernah menuntut untuk kami datang kerumah ibu. Tetapi ibulah yang sering mampir kerumah kami dan selalu membawakan makanan kesukaan saya sekeluarga.

Pada akhirnya saya tahu, Ibu tetaplah Ibu, yang bagi mereka Anak tetaplah Anak yang masih perlu diperhatikan, diatur bahkan ditelepon setiap hari. Itulah bentuk perhatian dia, seperti kata pepatah Kasih Ibu Sepanjang Masa,. Kadang saya merasa sangat bersalah sebagai anak yang belum bisa membahagiakan orang tuanya. Ketika hari Sabtu dan Minggu ketika Ibu ingin diantarkan jalan-jalan, belanja atau sekedar makan, tetapi saya  merasakan justru kedua hari itulah saya dan keluarga  ingin beristirahat. Tetapi Ibu tidak pernah marah dan yang biasa dia katakan adalah "kalau nanti kamu sempat...." dan akhirnya saya memang tidak sempat.

Saya semakin tahu, Ibu tidak berharap apapun dari anak-anaknya. Beliau bahagia jika anak-anaknya bahagia. Diakhir hidupnya beliau mengatakan bahwa dia bahagia karena anak-anaknya baik, menantunya baik juga cucu-cucunya, dan itu cukup bagi saya untuk tahu betapa bangganya Ibu dengan saya si pembantah. Dan itupun cukup bagi saya untuk mengurangi beban bersalahnya saya pada Ibu.

Betapa mulianya Ibu yang harus kita hormati dan turuti. Karena Ridho Ibu adalah juga Ridho Allah. Surgapun ditelapak kaki Ibu. Semua  bak lautan rahmat yang tidak dapat digantikan oleh apapun, nyawa kita sekalipun! Kini hanya Doa yang selalu saya kirimkan untukmu ibu... 

(mengenang setahun kepergian ibu 22/03/11)

Tidak ada komentar: